Kolom

Fenomena Pengadilan Massa

Agustus 04, 2023
Beranda
Kolom
Fenomena Pengadilan Massa
Ngajihukum.comIndonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum (rechstaat), bukan negara yang berdasarkan sebuah kekuasaan (machstaat). Di Indonesia, setiap warga negara dibatasi oleh sebuah aturan yang dalam hal ini ialah undang-undang yang dibuat oleh pemerintah untuk ditaati dan dipatuhi serta memiliki sisi manfaat bagi setiap masyarakatnya. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa negara Indonesia juga menerapkan konsep Rule of Law, dimana setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Hal ttersebut sebagaimana disebutkan dalam undang-undang dasar kita dan beberapa peraturan lainnya.

Sayangnya sistem penegakkan hukum di Indonesia masih menjadi harapan besar bagi setiap warga negara terutama bagis setiap pejabat tertentu. Tidak bisa dipungkiri, hukum di Indonesia dinilai lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas.  Kenapa demikian ? Kita tidak boleh menutup mata, bahwa pada dasarnya penegakkan hukum di Indonesia masih dapat dikendalikan terutama oleh para penegak hukum itu sendiri. 

Mari sejenak kita menengok kasus Kasus Ferdy Sambo, Jaksa Pinangki, dan Oknum Hakim serta Advokat di surabaya yang tertangkap basah melakukan suap. Kemudian yang terbaru dengan tertangkapnya Teddy Minahasa yang merupakan salah satu perwira tinggi Polri atas perdangan narkoba. 

Bayangkan, narkoba merupakan kejahatan yang dapat merusak generasi muda kita. Untuk itu pula, pemerintah melalui beberapa lembaganya termasuk Polri ngotot untuk membasmi narkoba dan pengedarannya. Dalam hal ini, polisi menjadi garda terdepan untuk membasmi pengedaran narkoba. Namun, betapa mengejutkannya ketika penangkapan Teddy Minahasa ini, secara terbukti ia merupakan dalang dibalik penjualan narkoba di Negeri ini. sungguh ironis!

Mereka adalah instrumen penting dalam penegakkan hukum di Indonesia, tetapi mereka pula yang menjadikan sistem penegakkan hukum di Indonesia semakin mudah untuk dikendalikan.

Hal ini tentunya dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat menjadi berkurang terhadap sistem penegakkan hukum di Indonesia. Maka tidak dapat dihindari, masyarakat berpotensi melakukan hal-hal dimana mereka sudah tidak lagi berpegang teguh pada aturan hukum itu, melainkan mereka memiliki hukum sendiri, yaitu pengadilan massa.

Pengadilan massa merupakan sebuah manifestasi dari perbuatan main hakim sendiri. Kondisi seperti ini, dapat digambarkan dimana masyarakat memiliki sebuah kebiadapan kolektif yang seakan-akan sudah nenjadi trend. Jika dibiarkan begitu saja, besar kemungkinan ini akan menjadi sebuah kebiasaan dan budaya yang mengakar.

Salah satu contoh fenomena pengadilan massa tidak perlu harus melihat dimana masyarakat telah berbuat main hakim sendiri misal dengan melakukan pemukulan dan penghukuman bagi pelaku tindak pidana pencurian atau maling. Fenomena ini juga telah muncul dalam perkembangan masyarakat teknologi dimana biasa disebut dengan dunia netizen. Netizen merupakan sebutan bagi masyarakat pengguna akun media sosial seperti facebook, twitter, instagram, tiktok, dan lainnya. 

Sebagaimana yang kita ketahui, setiap hari didunia media sosial selalu saja ada topik yang dibahas oleh masyarakat netizen. Mereka memiliki kebebasan dalam berpendapat, namun kebanyakan yang disampaikan oleh mereka bukanlah suatu opini atau gagasan yang memiliki sebuah solusi untuk menyelesaikan akar permasalahan. Mereka kerap kali gemar memaki, menghina, merundung, bahkan dapat menjadi salah satu pengaruh besar dalam mempengaruhi masyarakat netizen lainnya.

Sebuah riset ilmiah yang dilakukan oleh Microsoft, muncul kesimpulan bahwasanya perilaku masyarakat netizen Indonesia memiliki perilaku yang tidak sopan di dunia media sosial. Akibat hasil riset ilmiah inilah kemudian masyarakat netizen Indonesia beramai-ramai menyerbu situs serta akun media sosial milik microsoft tersebut.

Keberadaan undang-undang ITE dinilai tidak dapat menjadi peredam terhadap perilaku masyarakat netizen kita saat ini. Tidak dapat dipungkiri, hal tersebut karena undang-undang ITE hanya dijadikan sebagai alat untuk membungkam kritik masyarakat terhadap pemerintah. Sehingga dengan demikian, masyarakat netizen masih saja dengan kebiasaannya dan terus membudayakan perilaku-perilaku buruk tersebut.
Melihat fenomena masyarakat netizen tersebut, disini kita dapat sedikit menyimpulkan bahwa kredibilitas hukum mengalami penurunan yang sangat drastis. Apa yang dilakukan oleh netizen dan masyarakat kita saat ini, dengan berbuat main hakim sendiri dan bebas mengeluarkan pendapat-pendapat buruk merupakan bentuk ketidakpercayaan dan kurangnya penghormatan terhadap hukum itu sendiri.

Jika tradisi masyarakat tersebut dibiarkan begitu saja, maka konsekuensinya ialah kita akan melihat lebih banyak tindakan-tindakan main hakim sendiri lainnya yang sangat sulit diterima oleh nalar.

Mari kita mencoba menengok kebelakang. Seorang pria berusia 30 tahun yang dituding mencuri amplifier hingga dibakar hidup-hidup sampai tewas di bekasi pada 2017 silam. Kemudian juga ada seorang kakek berusia 89 tahun tewas dikeroyok oleh masa dijalan pada 2022 lalu. Penyebabnya karena dituding mencuri sehingga kakek tersebut harus dikejar dan diteriaki maling hingga akhirnya kejadian main hakim sendiripun tidak dapat dihindari. 

Padahal diketahui, dari hasil pemeriksaan kepolisian. Seorang kakek tersebut mulanya menyerempet kendaraan bermotor, namun karena kondisi jalan yang ramai menyebabkan kakek tersebut sulit untuk mengehentikan laju kendaraan. dan masyarakat yang disenggol tersebut meneriaki maling terhadap kakek itu, alhasil aksi main hakim sendiripun terjadi.

Perbuatan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat tersebut sangat tidak manusiawi dan terbilang sangat biadab. Hal tersebut sudah seharusnya dihentikan dan tidak boleh dibiarkan begitu saja. Penegakkan hukum yang dilakukan oleh pemerintah melalui institusinya harus mampu menjadikan hukum itu dapat dipatuhi dan memiliki efek jera bagi setiap masyarakat yang melanggarnya. Sehingga dengan demikian, masyarakat yang berusaha berbuat main hakim sendiri juga akan berpikir dua kali ketika harus berbuat anarki dan perbuatan buruk lainnya.

Jika kita melihat fenomena kasus di atas, setidaknya ada tiga hal yang essensial yang terdapat dalam kebiasaan masyakat kita, yaitu :
Pertama, masyarakat kita memiliki pandangan dimana pelaku kejahatan tidak memiliki hak untuk hidup dan layak untuk dibunuh. Kedua, kekerasan sudah menjadi subkultur dimana dapat terjadi bukan hanya pada masyarakat kriminal melainkan pada masyarakat non-kriminal pun dapat terjadi. Ketiga, keberadaan suatu aturan hukum dianggap sudah tidak dapat diperlukan lagi dan mencoba untuk ditinggalkan serta kembali lagi pada aturan hukum rimba atau pengadilan massa.

Maraknya perbuatan main hakim sendiri atau pengadilan massa merupakan sebuah referendum terhadap sistem hukum serta aparat penegak hukum. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sutjipto Raharjo dalam salah satu karyanya yang mengatakan bahwa pada dasarnya hukum dan para penegak hukum selalu diuji oleh masyarakatnya sendiri. Artinya, hukum harus mampu mengikuti perkembangan masyarakat saat ini agar dapat menjadi penyeimbang yang mengatur dan ditaati oleh setiap masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Pada dasarnya, hukum dibuat harus memiliki karakteristik. Dimana karakteristik tersebut harus mampu memberikan suatu pemahaman apakah hukum tersebut responsif dengan kebutuhan masyarakat, atau justru sebaliknya, lebih mencerminkan kepentingan penguasa.

Jadi, apabila hukum dan aparat penegak hukum nya mampu menyelesaikan persoalan-persoalan secara adil serta dapat memenuhi suara nurani masyarakat, maka hukum dan aparat penegak hukum akan mendapat tempat dimana masyarakat akan menghormati dan mentaati segala aturan hukum tersebut.

Namun, apabila hukum dan aparat penegak hukum tidak mampu melakukan hal itu, maka konsekuensinya masyarakat akan mencampakan aturan hukum itu dan akan memilih cara-cara mereka sendiri yaitu dengan melakukan pengadilan massa.


Penulis: Teja Subakti (Ketua Trafalgar Law Office)