berita

UU Cipta kerja Tak Memenuhi Unsur Kegentingan Memaksa Masalah Ekonomi

Juli 29, 2023
Beranda
berita
UU Cipta kerja Tak Memenuhi Unsur Kegentingan Memaksa Masalah Ekonomi
UU Cipta kerja Tak Memenuhi Unsur Kegentingan Memaksa Masalah Ekonomi
Pakar Ekonomi, Rizal Ramli selaku Ahli yang di hadirkan oleh pihak Pemohon, memberikan keterangannya dalam sidang Pengujian Undang-Undang Cipta Kerja, pada Kamis, (27/7/2023) diruang sidang Pleno MK. Foto: Humas/Panji 

Ngajihukum.com
- Ekonom Rizal Ramli hadir sebagai Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan  pengujian formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang yang digelar pada Kamis (27/7/2023) tersebut beragenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh 15 serikat atau federasi pekerja.

Dalam keterangannya, Rizal Ramli menyampaikan sejumlah alasan-alasan dan justifikasi penyebab UU Cipta Kerja tidak diperlukan. Menurutnya, alasan pemerintah dengan menyatakan ekonomi nasional sangat genting karena pandemi Covid-19 dan dampak krisis global dinilainya suatu alasan yang mengada-ada karena dalam pengamatannya ekenomi Indonesia pada 2020 – 2023 tumbuh sekitar 5%. Hal ini jelas ekonomi memperlihatkan ekonomi Indonesia tumbuh dan tidak mengalami kegentingan serta masih dapat diatasi dengan cara-cara inovatif. Baginya suatu keadaan dikatakan genting jika terjadi resesi dan diperlu tindakan besar untuk mengembalikannya pada kondisi normal. Sementara lahirnya UU ini tidak berlaku karena alasan yang dibuat terlalu mengada-ada.

Selain itu, Rizal juga menyampaikan bahwa alasan lainnya yang digunakan Pemerintah untuk melegalkan penyusunan UU Cipta Kerja adalah untuk menyederhanakan peraturan, perizinan, dan tumbang tindih aturan sehingga dengan adanya aturan ini investasi akan membaik. Rizal yang pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Indonesia Periode Agustus 2015 – Juli 2016 lalu mengakui birokrasi di Indonesia cukup rumit dan segala perizinan pun ruwet, tetapi dengan dihasilkan UU Cipta kerja ini justru semakin menambah masalah yang rumit dan kompleks.

“Coba diamati sederhana bagaimana UU ini yang 1.000 halaman dan Penjelasannya ada 500 halaman, masa disederhakan tetapi antarpasal banyak konflik ide, sehingga untuk memahami undang-undang ini perusahaan besar saja harus menyewa lawyer untuk memahaminya, apalagi usaha-usaha kecil dan menengah. Jika ingin membantu usaha kecil, cukup jadikan normanya 50 hlm sehingga tidak ada keraguan pengertian terhadap isi substansi undang-undang. Bahkan akibatnya dari undang-undnag ini semakin membuka peluang bagi birokrat untuk mengunakan sebagai sarana memeras lagi. Dampaknya pada investasi tidak meningkat signifikan, kecuali tambang tetapi bidang jasa manufaktur investasi jauh merosot dari Vietnam dan Thailand,” jelas Rizal di hadapan Majelis Sidang Pleno yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.

Merugikan Buruh


Berikutnya, Rizal juga mengaitkan keberadaan UU Cipta Kerja yang dinilainya sangat merugikan buruh dan keluarganya. Sebagai ilustrasi, ia mencontohkan keberlakuan sistem outsourching seumur hidup. Umumnya sistem ini hanya berlaku sementara atau setidaknya hanya 3 bulan, kecuali bagi industri yang cocok untuk pemberlakuan sistem ini. Akibat dari norma ini, sambungnya, pekerja tidak mendapatkan tunjangan kesehatan, para buruh tidak punya pegangan eknomi bagi keluarga dan ini merupakan bentuk perbudakan di masa modern. Ia berkata perbudakan tersebut terjadi karena UU Cipta Kerja menekan hak-hak pekerja atau buruh, layaknya masa kolonial karena masyarakat pribumi tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki nasib kehidupannya secara normal.

Soko Guru Ekonomi  


Rizal kembali mengingatkan Pemerintah dan rakyat Indonesia tentang cita-cita dari pendiri bangsa dalam nendirikan Republik Indonesia yakni membentuk negara kesejahteraan dan bukan melahirkan sistem kapitalis yang spekulatif dan ugal-ugalan. Peran negara, koperasi, dan swasta menjadi soko guru untuk keberlangsungan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi Indonesia yang terbaik dan ideal. Dengan demikian, akan lahir bangsa Indonesia yang cerdas dan makmur. Akan tetapi, lahirnya UU Cipta Kerja ini baginya sangat bertentangan dengan UUD 1945 karena lagi-lagi keberadaan norma di dalamnya mencoba menjadikan buruh lebih miskin dan hanya dijadikan sebagai alat produksi dan bukan bagian dari pekerja untuk menikmati kemakmuran.

Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu (31/5/2023),  Alif Fachrul Rachmad selaku kuasa Pemohon menyampaikan pembentukan UU Cipta Kerja harus tunduk pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Alif melanjutkan Pemohon menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena UU Cipta Kerja—yang semula merupakan Perppu Cipta Kerja—disahkan dalam masa reses. Pemohon menemukan fakta hukum yang terjadi bahwa Perppu Cipta Kerja yang menjadi cikal bakal lahirnya UU Cipta Kerja ditetapkan pada 30 Desember 2022 yang merupakan masa reses. Hal ini, menurut Pemohon merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU P3.

Permasalahan pokok yang menjadi persoalan dalam pengujian formil kali ini ialah proses pembentukannya yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 22 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa suatu perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, jika tidak disetujui maka perppu harus dicabut. Apa yang dimaksud makna persidangan yang berikut, jika kita melihat penjelasan Pasal  52 ayat (1) UU tentang P3 menjelaskan bahwa persidangan yang berikut adalah masa sidang pertama DPR setelah perppu ditetapkan.

Kemudian Alif menambahkan masa sidang berikutnya setelah Perppu Cipta Kerja lahir adalah Masa Sidang III Tahun 2022/2023 yang dimulai pada 10 Januari 2023 dan berakhir pada 16 Februari 2023. Menurut Pemohon, pada Masa Sidang III tersebut seharusnya Perppu Cipta Kerja mendapat persetujuan dari DPR sesuai ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 juncto Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU P3.  Pada Masa Sidang III Tahun 2022/2023 tersebut, Perppu Cipta Kerja tidak mendapatkan persetujuan dari DPR, baru mendapatkan persetujuan pada 21 Maret 2023 (di luar Masa Sidang III 2022/2023). Jika berpegang teguh pada ketentuan norma di atas, maka Perppu Cipta Kerja yang tidak mendapat persetujuan pada masa sidang I DPR harus dicabut dan dengan sendirinya juga kehilangan validitas keberlakuan serta tidak lagi dapat disahkan oleh DPR untuk menjadi UU.

Alif menambahkan limitasi atau batasan waktu yang tertuang dalam Pasal 22 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 juncto Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU P3 mengenai pemberlakuan perppu sejatinya telah selaras dengan konsep hak presiden dalam memberlakukan perppu, yakni dalam kegentingan yang memaksa sehingga butuh secepatnya pada kesempatan yang sama untuk disahkan menjadi undang-undang.  Dengan demikian, sambung Alif, jika ada yang menyatakan Perppu Cipta Kerja masih berlaku karena persetujuan DPR di Rapat Paripurna dapat dilakukan pada masa sidang IV Tahun 2023, dapat dipastikan pernyataan tersebut adalah pernyataan yang sesat, keliru, dan menyimpangi hukum.