Kolom

Mendewasakan Demokrasi

September 30, 2023
Beranda
Kolom
Mendewasakan Demokrasi
Ngajihukum.com - Dalam beberapa bulan kedepan, rakyat Indonesia akan kembali mencacatkan sejarah baru dalam wajah demokrasi bangsa. Kita sebagai rakyat Indonesia akan ikut serta dalam pesta demokrasi yang akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024 mendatang. 

Setelah sebelumnya publik disibukkan dengan isu penundaan pemilu 2024 yang menggemparkan jagat raya bangsa. Penundaan pemilu tersebut secara jelas telah mengkhianati demokrasi bangsa yang selalu berkomitmen melaksanakan pemilu setiap 5 tahun sekali.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memenangkan gugatan yang dilayangkan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam putusan banding yang diajukan oleh KPU kepada Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat menyatakan bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah resmi di batalkan. Dengan begitu pemilu 2024 secara resmi tetap akan dilaksanakan.

Pemilu 2024 nanti akan menentukan nasib Indonesia selanjutnya dalam memilih anggota DPR baik ditingkat daerah maupun pusat dan pemilihan calon presiden Republik Indonesia kedepan.

Nama-nama tokoh besar calon presiden Indonesia telah bertengger menghiasi wajah perpolitikan bangsa saat ini. Dimulai dari Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Ketiganya telah menempati posisi teratas dan mulai sibuk dalam agenda wara-wiri kampanye merebut kepercayaan rakyat.

Janji-janji politik ketiga capres tersebut dari yang masuk akal hingga tidak masuk akal sekalipun terus dikumandangkan ketiganya dalam menarik kepercayaan publik. Ganjar Pranowo yang berjanji akan menaikan gaji guru menjadi 30 juta, Anies Baswedan melalui koalisi perubahannya yang mengupayakan memberikan subsidi gratis BBM bagi penggunaan sepeda motor, hingga Prabowo Subianto yang berjanji akan memberikan makan gratis kepada ibu hamil dan anak-anak disekolah. Janji-janji ketidakmasukalan tersebut tidak lain telah menampilkan paradoks demokrasi kita selama ini. 

Sejak 2004 silam, untuk yang pertama kalinya Indonesia memakai cara pemilihan presiden melalui pemilu yang dipilih langsung oleh rakyat. Setelah sebelumnya carut marut perebutan kekuasaan hanya bisa dikendalikan oleh elit-elit tertentu. Pemilu 2004 menjadi tombak awal dalam mengembalikan stabilitas politik pada bangsa ini dan menunjukkan wajah demokrasi pada bangsa ini. 

Namun, baik pemerintahan dizaman SBY dan Jokowi. Indonesia masih dihiasi dengan persoalan-persoalan bangsa yang hingga saat ini belum terselesaikan. Meski keduanya telah memimpin bangsa ini selama 10 tahun lamanya, catatan kebijakan buruk yang justru memperpanjang penderitaan rakyat masih terus dijalankan. 

Lebih dari dua dekade lamanya kita sebagai rakyat Indonesia telah menikmati masa transisi dari orde baru ke reformasi. Lebih dari dua dekade pula segudang persoalan bangsa terus bermunculan dan belum menemukan solusi yang tepat. Salah satunya ialah memaknai kebebasan demokrasi ditengah kehidupan bangsa dan negara yang dikenal dengan negara demokratis. Suara-suara kritis masyarakat yang selama ini mencoba mengkritik pemerintah seakan-akan sengaja di preteli dengan segala siasat pemerintah dan kroni-kroninya. Mulai dari mempersempit ruang untuk berekspresi dan berserikat, hingga ancaman dan penerapan regulasi multitafsir yang sengaja dibuat untuk membungkam suara keresahan masyarakat selama ini. 

Pada dasarnya, demokrasi bukan hanya dimaknai dengan peristiwa pesta demokrasi (pemilu) saja, tetapi juga harus dijalankan dalam bernegara demi dan guna kepentingan seluruh warga negara. Apa yang diidealkan oleh kepentingan masyarakat pada umumnya mengenai perbaikan kualitas hidup harus bisa terwujud melalui sebuah sistem negara yang demokratis. 

Meskipun pada kenyataannya, belakangan demokrasi hanya dijadikan alat oleh kaum elit parpol dan dinasti politik keluarga. Interaksi masyarakat dengan para kaum elit politik hanya terjadi disaat suara-suara rakyat dibutuhkan sebagai suara penyumbang pemilu. Setelahnya, masyarakat kembali bergulat dengan carut marut kehidupan dengan berbagai problematikanya. Hal ini karena pada dasarnya demokrasi kita hari ini masih berada dibawah bayang-bayang oligarki semata. Kondisi seperti ini pada akhirnya melahirkan fakta bahwa demokrasi kita hari ini masih belum bermuara pada kepentingan masyarakat Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan terbesar pada sebuah sistem negara demokratis. 

Pemilu 2024 nanti harus menjadi garis perjuangan rakyat dalam menentukan kemajuan bangsa yang demokratis. Pemimpin bangsa selanjutnya harus memegang teguh nilai-nilai dan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Rakyat Indonesia tidak boleh lagi dibatasi dengan latar belakang primordial. Karena setiap warga negara memiliki kesamaan  untuk menjadi pemilih dan berkumpul serta berserikat untuk menyampaikan pendapat. Dalam menjalankan negara demokratis. Penyelenggara negara wajib membentuk kelembagaan yang fungsinya sebagai wadah aspirasi rakyat dalam menyerap berbagai macam perbedaan pendapat yang kemudian menghasilkan sebuah kesepakatan bersama. Keterlibatan setiap pihak dalam hal ini juga harus betul-betul diperhatikan. Bukan hanya eksekutif, legislatif, yudikatif saja. Melainkan berbagai elemen penting lainnya yang berasal dari rakyat juga harus dilibatkan. 

Jadi, siapapun nanti yang akan memimpin Indonesia pada 2024 mendatang diharapkan dapat menjadi pelayan rakyat yang sesungguhnya. Dengan memprioritaskan segala kebijakan berdasarkan kepentingan rakyat Indonesia. Guna dan demi terwujudnya negara demokratis dan menuju Indonesia emas. 





Penulis : Teja Subakti (Ketua Trafalgar Law Office)