Foto: M. Fathurrahman Tsabit |
Ngajihukum.com - Perlu diketahui terhitung dari tahun 2019-sekarang kurang adanya peran partai sebagai oposisi pemerintah yang menjadi penyerap dan penyalur suara rakyat sehingga terkesan partai-partai terbungkam oleh pembagian jabatan di kementrian. "Padahal apabila partai berperan sebagaimana fungsinya kemudian turun ke bawah dan mengajak masyarakat untuk berjuang bersama, akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap partai itu sendiri terutama golongan anak muda sekarang atau disebut dengan gen Z"
Beberapa tahun ke belakang di era
presiden SBY masih ada beberapa partai yang melakukan aksi untuk menuntut
penurunan harga BBM. Namun sekarang itu tidak pernah terdengar kembali partai
yang melakukan aksi jalanan mengajak kepada seluruh elemen masyarakat. Di tahun
2019 gerakan mahasiswa memperjuangkan untuk penurunan BBM, penolakan RUU KPK,
dan Pengesahan RUU TPKS ( Tindak Pidana Kekerasan Seksual ) dan itu hanya 1
tuntutan yang di sah kan dari 3 tuntutan yang diajukan. Di tahun 2020 gerakan
kembali bergulir terkait penolakan RUU OMNIBUS LAW namun lagi-lagi peran dari
partai itu sendiri tidak ada sama sekali mereka hanya berjuang di parlemen
tanpa turun langsung kepada masyarakat mendengarkan apa yang sebetulnya yang
menjadi keresahan masyarakat. Di tahun 2023 hanya satu partai baru yang
melakukan aksi secara langsung untuk menggugat kembali terkait omnibus law. Hal
ini salah satu turunnya kepercayan masyarakat terhadap partai sehingga
berdampak ke pemilu 2024 yang akan diselenggarakan februari nanti terutama
dikalangan pemuda atau gen Z.
"Partai politik bukan hanya
soal mensosialisasikan ideologi yang dibangun oleh partai itu sendiri, tapi ada
fungsi lain yakni menghimpun, menyerap dan penyalur kepentingan masyarakat
dalam merumuskan kebijakan negara".
Trias
politika yang tumpang tindih
Di indonesia sendiri menggunakan
sistem trias politika yakni yang memiliki bada eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Tujuan utamanya agar pemerintahan berjalan dengan stabil check and
ballance. Setiap lembaga memiliki peran dan fungsinya masing-masing. hari ini
bisa dilihat bahwa check and ballance tidak benar-benar terjadi sebab dirasa
ada ketimpangan dalam penyelenggaraan negara tersebut. Perlu kita ketahui
terlebih dahulu bahwa legislatif memiliki kewenangan untuk membuat suatu
aturan, eksekutif memiliki kewenangan memaksakan aturan yang telah di sah kan
dan yudikatif sebagai lembaga independen yang memiliki kewenangan untuk
mengawasi dan menguji UU terhadap UUD 1945.
Dalam beberapa kasus hukum yang
sudah terjadi di Indonesia, banyak sekali gugatan yang diajukan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk pengujian Undang-Undang (judicial review). Salah satu
kasusnya yakni UU OMNIBUS LAW yang didalamnya mengandung unsur UU CIPTAKER dan
di sah kan oleh DPR digugat dan diujikan sehingga MK memutus UU OMNIBUS LAW
ditangguhkan dengan waktu selama 3 tahun. Akan tetapi badan legislatif tetap
menge-sah-kan PERPPU no. 2 tahun 2022. Secara normatif hal itu tidak bisa
diselenggarakan sebab UU CIPTAKER termasuk dalam buntalan UU omnibus law yang
mana UU omnibus law masih ditangguhkan dan harus diperbaiki secara menyeluruh
dalam jangka waktu 3 tahun. Tindakan tersebut sangat menciderai konstitusi.
Dilanjut dengan kasus judicial review UU pemilu tentang batas umur capres dan
cawapres yang dikabulkan oleh MK pada tanggal 16 oktober 2023 begitu sangat
mengejutkan seluruh warga indonesia. Dampaknya putusan tersebut dinilai sangat
kontroversial yang sebelumnya MK menolak gugatan yang diajukan oleh PSI akan
tetapi mengabulkan gugatan yang diajukan oleh mahasiswa UNS dengan perkara yang
sama akan tetapi dibedakan oleh frasa gugatan yang diajukan oleh mahasiswa UNS.
Secara konstitusi sebetulnya MK tidak berhak mengatur batas umur capres dan
cawapres dalam undang-undang. Karena perihal undang-undanh hanya bisa dibuat oleh
badan legislatif. Hal ini jelas sekali bahwa MK telah menciderai norma hukum
yang berlaku di indonesia begitupun ada ketimpangan dalam penerapan trias
politika.
Dari beberapa kasus diatas
menimbulkan katidakpercayaan dan membuat masyarakat apatis dan skeptis terhadap
politik. Besar kemungkinan minat masyarakat terutama gen Z semakin malas dan
pasif menanggapi perpolitikan di Indonesia negara yang kami cintai ini.
Ditulis oleh : M. Fathurrahman
Tsabit, mahasiswa iain syekh nurjati cirebon, anggota PAO Asosiasi Hukum Tata
Negara se-Indonesia