fiqih

Benarkah Bersiul Dilarang Dalam Islam? bagaiman hukumnya?

September 17, 2020
Beranda
fiqih
Benarkah Bersiul Dilarang Dalam Islam? bagaiman hukumnya?
benarkah Bersiul Dilarang Dalam Islam? bagaiman hukumnya?
Islam memiliki ajaran yang sempurna, kita sebagai seorang muslim patut berbangga dan bersyukur atas hal tersebut. Sekecil apapun perbuatan bisa bernilai pahala jika diniatkan karena Allah Ta’alaa dan bukan dalam perkara maksiat yang dilarang oleh Allah.
Namun, ada beberapa akhlak yang harus diperhatikan, salah satunya adalah bersiul. Benarkah Islam melarang bersiul? Adakah dalil yang melandasi sebagai alasan terkuatnya? Berikut ini penjelasan dari ustadz Ammi Nur Baits.

Allah mencela tata cara ibadah yang dilakukan orang musyrikin ketika di Ka’bah,

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ


Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. Karena itu, rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. al-Anfal: 35).

Al-Jashas dalam tafsirnya menyatakan,

سمي المكاء والتصدية صلاة ؛ لأنهم كانوا يقيمون الصفير والتصفيق مقام الدعاء والتسبيح . وقيل : إنهم كانوا يفعلون ذلك في صلاتهم

Siulan dan tepukan tangan dinamakan shalat, karena orang musyrikin menjadikan siulan dan tepuk tangan sebagai pengganti doa dan tasbih. Ada yang mengatakan, mereka bersiul dan bernyanyi ketika sedang beribadah. (Ahkam al-Quran, 3/76)

Mengingat tindakan ini dicela dalam al-Quran, dan itu kebiasaan oranng musyrik ketika beribadah, ulama berbeda pendapat mengenai hukum bersiul.

Pertama, bersiul hukumnya terlarang


Dalilya adalah ayat di atas, dimana Allah mencela kebiasaan orang musyrikin yang bersiul dan tepuk tangan ketika beribadah.

Ini merupakan pendapat Lajnah Daimah. Dalam salah satu fatwanya dinyatakan,

الصفير لا يجوز ، ويسمى في اللغة : ( المكاء ) ، وهو من خصال الجاهلية ، ومن مساوئ الأخلاق

Bersiul itu dilarang, dalam bahasa arab fasih disebut al-Muka’. Dan ini tradisi Jahiliyah, dan termasuk akhlak yang buruk. (Fatawa Lajnah Daimah, 26/390).

Kedua, bersiul hukumnya makruh

Dalilnya ayat di atas. Karena meniru kebiasaan jahiliyah, tanpa ada kebutuhan yang mendesak, dicela dalam syariah. Ibnu Muflih  menukil keterangan Syaikh Abdul Qadir Jailani,

قال الشيخ عبد القادر رحمه الله : يكره الصفير والتصفيق

Syaikh Abdul Qadir – rahimahullah – mengatakan, “Makruh bersiul dan tepuk tangan.” (al-Adab as-Syar’iyah, 3/375)

Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,

أما التصفير فأنا أكرهه كراهة ذاتية ، وليس عندي دليل ، ولو أن شخصاً طلب مني دليلاً ، فلا أستطيع أن أقول : عندي دليل

Untuk bersiul, secara perbuatan saya tidak menyukainya. Meskipun saya tidak punya dalil. Jika ada orang yang memintaku membawakan dalil, saya tidak bisa mengatakan, saya punya dalil.. (Liqa’at Bab al-Maftuh, 4/119).

Ketiga, dibolehkan selama tidak diniatkan untuk ibadah

Mereka mengatakan bahwa tidak ada dalil tegas yang melarang bersiul. Sementara celaan Allah kepada masyarakat jahiliyah adalah bersiul ketika beribadah. Mereka menganggap bersiul itu sebagai cara dzikir dalam shalatnya.

Syaikhul Islam mengatakan,

كان المشركون يجتمعون في المسجد الحرام يصفقون ويصوتون ، يتخذون ذلك عبادة وصلاة ، فذمهم الله على ذلك ، وجعل ذلك من الباطل الذي نهى عنه

Orang-orang musyrikin berkumpul di masjidil haram, mereka tepuk tangan dan bersiul-siul. Mereka yakini itu ibadah dan cara shalat . Lalu Allah mencela tindakan mereka itu. Dan Allah sebut itu kebatilan yang dilarang.

(Majmu’ al-Fatawa, 3/427)

Dan yang lebih mendekati adalah pendapat kedua. Sebagaimana keterangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Terlebih di sana ada riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan Mujahid, bahwa bersiul itu tradisi buruk umatnya Nabi Luth. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/276)

Karena itu, selama tidak mendesak untuk dilakukan, tidak selayaknya dilakukan. Namun jika dibutuhkan, semoga tidak menjadi masalah untuk mengeluarkan bunyi siulan. Seperti suara peluit masinis, atau semacamnya.

Wallahu a’lam bish shawab.