fiqih

Hukum Ikut Perayaan Imlek Bagi Seorang Muslim

Juni 04, 2022
Beranda
fiqih
Hukum Ikut Perayaan Imlek Bagi Seorang Muslim
Hukum Ikut Perayaan Imlek Bagi Seorang Muslim

Perayaan Imlek sudah dekat, Perayaan Imlek pada tahun ini jatuh pada tanggal 12 Februari 2021.Tahun Baru Imlek merupakan perayaan penting orang Tionghoa.

Perayaan tahun baru imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal ke-15 (pada saat bulan purnama).
Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chuxi yang berarti "malam pergantian tahun".


Sejarah Singkat Imlek

Di Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan Tahun Baru Imlek sangat beragam. Namun, kesemuanya banyak berbagi tema umum seperti perjamuan makan malam pada malam Tahun Baru, serta penyulutan kembang api. Meskipun penanggalan Imlek secara tradisional tidak menggunakan nomor tahun malar, penanggalan Tionghoa di luar Tiongkok seringkali dinomori dari pemerintahan Huangdi. Setidaknya sekarang ada tiga tahun berangka 1 yang digunakan oleh berbagai ahli, sehingga pada tahun 2009 masehi “Tahun Tionghoa” dapat japada tahun 4707, 4706, atau 4646.

Dirayakan di daerah dengan populasi suku Tionghoa, Tahun Baru Imlek dianggap sebagai hari libur besar untuk orang Tionghoa dan memiliki pengaruh pada perayaan tahun baru di tetangga geografis Tiongkok, serta budaya yang dengannya orang Tionghoa berinteraksi meluas. Ini termasuk Korea, Mongolia, Nepal, Bhutan, Vietnam, dan Jepang (sebelum 1873). Di Daratan Tiongkok, Hong Kong, Makau, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan negara-negara lain atau daerah dengan populasi suku Han yang signifikan, Tahun Baru Imlek juga dirayakan, dan pada berbagai derajat, telah menjadi bagian dari budaya tradisional dari negara-negara tersebut.

Di Indonesia, Sejak tahun 1968 s/d 1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang untuk dirayakan di depan umum. Hal itu berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto. Serta melarang segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk di antaranya tahun baru Imlek.

Namun, sejak kepemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, kembali mendapatkan kebebasan dalam merayakan tahun baru Imlek, yaitu di mulai pada tahun 2000. Di mana, Presiden Abdurrahman Wahid secara resmi mencabut Inpres Nomor 14/1967. Serta menggantikannya dengan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).

Selanjutnya, baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu Hari Libur Nasional, oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003 hingga saat ini.

Nah, Bagaimana hukumnya bagi umat Muslim yang turut merayakan? Apakah sah-sah saja? Simak penjelasan lengkapnya di bawah ini.

Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk masuk ke dalam Islam secara kaaffah sebagaimana disebutkan dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208).

Kata Mujahid, maksud ‘masuklah dalam Islam secara keseluruhan‘ berarti “Lakukanlah seluruh amalan dan berbagai bentuk kebaikan.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir). Artinya di sini, jika suatu kebaikan bukan dari ajaran Islam, maka seorang muslim tidak boleh bercapek-capek melakukan dan memeriahkannya. Karena kita diperintahkan dalam ayat untuk mengikuti seluruh ajaran Islam saja, bukan ajaran di luar Islam.


Penjelasan di atas dianggap cukup untuk menegaskan bahwa Tahun Baru Imlek, bukan lah perayaan karena latar belakang budaya yang mendunia, atau hari libur nasional seperti Hari Kemerdekaan,Akan tetapi murni perayaan yang dilatarbelakangi ideologi agama dan kepercayaan tertentu.

Maka dari itu, alasan atau anggapan bahwa perayaan Imlek tidak ada sangkut pautnya dengan agama tertentu adalah anggapan yang jelas bertentangan dengan sejarahnya.

Dengan demikian, keikutsertaan umat Muslim dalam perayaan Imlek tentu saja tidak diperbolehkan.

Ini sama saja dengan melanggar ancaman yang ditulis dalam hadis oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma.

Pada hadis tersebut, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Daud 4031)

Ikut dalam perayaan Imlek juga melanggar larangan yang dituliskan oleh Abdullah bin Amr bin Ash yang berbunyi,

“Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”


Berikut penjelasan Ustazd Abdul Somad yang dikutip dari channel YouTube @OFF Message:

"Kalau sekedar datang bersilaturahim tidak apa-apa.

Dalilnya datang asma menjumpai nabi, emak saya non-muslim tapi tak seagama.

Dia datang mau menyambung silaturahim boleh.

Tapi kalau ritualnya, ritual agamanya tak boleh

Lewati hari ritual beberapa hari, bilang aku belum bisa datang karena kesibukan.

Habis itu silakan datang," ujar UAS.


Toleransi Beragama

Walaupun sudah jelas ditentang, bagaimana sikap yang harus kita jalani sebagai seorang Muslim ketika perayaan Imlek sedang berlangsung?

Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW memang menentang umatnya untuk merayakan budaya dari agama lain, namun bukan berarti kita harus mencaci atau mengejek mereka yang merayakan.

Islam merupakan agama yang penuh dengan toleransi, sebagaimana Rasulullah SAW selalu mengajak umatnya untuk hidup secara harmonis tanpa pandang bulu.

Berikut adalah penjelasan toleransi sesama agama menurut Ali Machsum (Rais’ Aam Nahdlatul Ulama).

“Batasan toleransi itu ada menurut keyakinannya masing-masing. Islam menghormati orang yang beragama Kristen, Budha, Hindu dan agama lainnya. Bukan karena dia Kristen, Budha atau Hindu tapi Islam menghormati mereka sebagai umat Allah. Ciptaan Allah yang wajib dikasihi. Islam mewajibkan untuk saling menghormati sesama umat beragama, tapi akan murtad kalau dengan itu membenarkan agama lain.” (Hasanuddin, 1420 H : 42)

Toleransi beragama juga disebutkan pada surat Al-Kafirun ayat 1 sampai 6 yang berbunyi,

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)


“Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Qs. Al-Kafirun : 1-6)

Bersikap toleran bukan berarti membolehkan segala hal yang dapat meruntuhkan akidah seorang muslim. Namun toleran yang benar adalah membiarkan mereka merayakan tanpa perlu loyal (wala’) pada perayaan mereka.