Artikel Hukum pidana

Apa Pengertian Justice Collaborator ?

Agustus 10, 2022
Beranda
Artikel
Hukum pidana
Apa Pengertian Justice Collaborator ?
Apa Pengertian Justice Collaborator ?

Penyelidikan suatu kasus tindak pidana memerlukan bantuan dari berbagai pihak, tidak terkecuali bantuan dari sisi pelaku. Bagi pelaku yang ingin membantu proses penyelidikan disebut dengan Justice Collaborator.
Justice Collaborator adalah orang yang bekerja sama secara substansial dalam proses penyelidikan atau penuntutan kasus tindak pidana. Justice Collaborator dapat berperan sebagai saksi dari sisi pelaku yang turut berkontribusi dalam suatu tindak pidana.

Sebelumnya, Justice Collaborator diperoleh dari Konvensi PBB Anti Korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003 dalam pasal 37 ayat 3. Konvensi tersebut juga sudah disahkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2006.


Dari hukum di Indonesia, Justice Collaborator juga sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain sebagai berikut:

- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban
- Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, dan KPK
- LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerja sama
- Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011


Pengertian Justice Collaborator

Kriminolog, Ahmad Sofian mengatakan justice collaborator adalah saksi kunci untuk menguak tindak pidana tertentu yang sulit diungkap oleh penegak hukum. 

"Justice collaborator diartikan sebagai saksi pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerjasama dengan  penegak hukum," tulis Ahmad Sofian dalam laman resmi Business Law Universitas Bina Nusantara.

Dalam ketentuannya, justice collaborator bisa disandang oleh saksi sekaligus tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan.

Selanjutnya dari keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat (AS) sekitar tahun 1970-an. 

Ini merupakan salah satu norma hukum di AS saat itu dengan alasan perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut. 

Oleh sebab itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum. 

Peran Justice Collaborator
Ahmad menjelaskan, ada sejumlah peran yang dimiliki oleh justice collaborator, antara lain:

  • Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana, sehingga pengembalian asset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada negara;
  • Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; dan
  • Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
  • Adapun justice collaborator diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Selain itu, justice collaborator juga diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

"Sumber hukum yang disebutkan di atas masih belum memberikan pengaturan yang proporsional, sehingga keberadaan justice collaborator bisa direspon secara berbeda oleh penegak hukum," ujar Ahmad.

Norma Justice Collaborator
Ahmad menyebut, justice collaborator akan mendapat perlindungan dan perlakuan khusus meski terlibat dalam tindak pidana tertentu.

Hal itu diatur dalam No. 31 Tahun 2014 khususnya pada Pasal 10 Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 rumusan normanya adalah sebagai berikut:

Saksi, Korban dan Saksi Pelaku dan atau Pelaporan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan atau Pelapor atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan  kesaksianntelah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kemudian dalam dalam Pasal 10 (A)

  • Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
  • Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  • Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapaidana yang diungkap tindak pidananya;
  • Pemisahan pemeriksaan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya dan/atau:
  • Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :

  1. Keringanan penjatuhan pidana; atau
  2. Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntututannya kepada hakim. 

Sementara itu, untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan  bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.


Sumber: https://www.detik.com/jabar/hukum-dan-kriminal/d-6222451/perbedaan-justice-collaborator-dan-whistle-blower-ini-penjelasannya