Kolom

Jalan Berliku Demokrasi

November 28, 2023
Beranda
Kolom
Jalan Berliku Demokrasi


Ngajihukum.com Lebih dari dua dekade lamanya kita sebagai rakyat Indonesia telah menikmati masa transisi dari orde baru ke reformasi. Lebih dari dua dekade pula segudang persoalan bangsa terus bermunculan dan belum menemukan solusi yang tepat. Salah satunya ialah memaknai kebebasan demokrasi ditengah kehidupan bangsa dan negara yang dikenal dengan negara demokratis.

Demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana setiap rakyat dalam suatu negara memiliki hak yang sama untuk dapat mengubah taraf hidup yang lebih baik. Hal tersebut sejalan sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Abraham Lincoln yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pada dasarnya, demokrasi bukan hanya dimaknai dengan peristiwa pesta demokrasi (pemilu) saja, tetapi juga harus dijalankan dalam bernegara demi dan guna kepentingan seluruh warga negara. Apa yang diidealkan oleh kepentingan rakyat pada umumnya mengenai perbaikan kualitas hidup harus bisa terwujud melalui sebuah sistem negara yang demokratis. 

Dalam perjalananya, sistem demokrasi Indonesia telah banyak melalui berbagai macam transisi. Seperti demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, hingga yang terbaru demokrasi reformasi. Hingga saat ini Indonesia masih berusaha untuk mewujudkan negara demokratis. Meskipun pada realitasnya demokrasi sering kali berbenturan dengan kepentingan politik sehingga membuat demokrasi semakin kehilangan tujuannya yaitu mewujudkan kedaulatan rakyat.

Kepentingan politik setiap rezim mampu mengubah alam demokrasi bangsa semakin mengalami kemunduran secara drastis. Pemerintah Indonesia mungkin hinga saat ini masih ngotot menyatakan bahwa Indonesia memegang teguh prinsip-prinsip demokrasi dalam menjalankan negara. Namun demokrasi yang dijalankan tersebut faktanya tidak pernah menghasilkan apa-apa. Demokrasi yang seharusnya dapat mencangkup kesejahteraan rakyat kini hanya sebatas menjadi demokrasi yang elektoral.

Di kepemimpinan Presiden Jokowi selama dua periode ini terdapat berbagai persoalan yang serius terhadap alam demokrasi bangsa. Menjelang berakhirnya masa jabatan seorang Jokowi nampak telah dipertontonkan secara nyata jalan berliku demokrasi bangsa yang secara terus menerus mengalami kemunduran.

Segudang Persoalan Demokrasi

Perjalanan wajah demokrasi bangsa saat ini mulai nampak kehilangan arahnya. Pasca Jokowi secara resmi menjabat untuk kedua kalinya sebagai presiden Republik Indonesia pada 2019 lalu segudang persoalan terhadap wajah demokrasi terus bermunculan, diantaranya ialah :

Pertama, dibawah kepemimpinan Jokowi aparat keamanan seolah-olah menjelma sebagai algojo yang dengan bangga melakukan tindakan represif dan kekerasan terhadap sejumlah mahasiswa atau para demonstran dalam melakukan demonstrasi. Penangkapan sejumlah aktivis diberbagai daerah hingga kematian dua mahasiswa asal Kendari oleh aparat kepolisian menjadi bukti sikap pemerintah yang tidak secara serius mewujudkan negara demokrasi. Bahkan pemerintah tidak segan-segan untuk memberikan sanksi terhadap universitas atau kampus yang membiarkan mahasiswanya mengikuti aksi demonstrasi.

Pembungkaman kebebasan berpendapat tersebut juga di perlihatkan saat aparat pemerintah menghapus simbol protes rakyat berbentuk mural yang dibuat oleh sekumpulan seniman diberbagai daerah di Indonesia. Alih-alih mendengar dan mengoreksi berbagai bentuk protes dan kritik rakyat, tindakan yang ditunjukan oleh pemerintahan Jokowi justru lebih tepat pada tindakan otoritarianisme.

Sikap anti kritik pemerintahan Jokowi juga diperkuat dengan maraknya praktik feodalisme yang muncul dari pendukung gerakan pro pemerintah. Dimana dalam kenyataannya mereka seolah-olah telah menempatkan seorang pemimpin sebagai raja, sakral, bahkan Tuhan. Seolah-olah Presiden tidak memiliki suatu kesalahan dalam setiap kebijakannya. Mereka menamai dirinya sebagai Jokowisme. Sebuah gerakan yang membela dengan segenap kekuatan untuk menyembunyikan kegagalan-kegagalan pemerintahan saat ini. Mereka yang pro dengan pemerintahan saat ini beramai-ramai mengecam siapa saja yang berani mengkritik pemerintah. Mulai dari melaporkan satu-satu persatu kepada institusi kepolisian dengan tuduhan penghinaan bahkan makar. Keberadaan aparat penegak hukum juga telah mampu dikuasai sebagai alat dalam mengkriminalisasikan setiap warganya.

Kedua, negara demokrasi yang saat ini sedang kita rasakan, nyatanya telah memiliki permasalahan yang cukup serius. Demokrasi yang dipegang teguh ini telah dikuasai sepenuhnya dalam cengkraman oligarki. Oligarki telah mampu menggerogoti setiap sendi kehidupan kita sebagai bangsa. Baik dalam sektor ekonomi, politik, hukum, dan lain sebagainya.

Oligarki kekuasaan sangat bertentangan dengan prinsip negara demokrasi yang dijalankan oleh pemerintahan Indonesia saat ini. Demokrasi memiliki peranan yang sangat penting bagi pemerataan kekuasaan dan ekonomi. Sedangkan oligarki sebagaimana yang kita ketahui hanya fokus menguntungkan golongannya saja. Hal ini telah dibuktikan dengan lahirnya beberapa regulasi atau aturan perundang-undangan yang hanya mementingkan kelompok elit saja dibandingkan dengan kepentingan orang banyak yaitu rakyat Indonesia.

Ketiga, lemahnya proses penegakkan hukum di rezim Jokowi juga terus mengalami kemerosotan yang sangat drastis. Banyaknya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum kita hari ini merupakan bukti gagalnya pemerintah terhadap semangat reformasi hukum. Jokowi yang pernah mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum, hukum harus dipatuhi oleh setiap masyarakat dan warga negara serta dapat ditegakkan berdasarkan nilai-nilai keadilan. Namun, ungkapan Jokowi tersebut nyatanya tak sejalan dengan perbuatan dan tindakan yang telah dilakukan oleh para penegak hukum kita sebagai salah satu wujud contoh teladan hukum bagi masyarakat luas. Masyarakat dibuat semakin tidak percaya dengan penegakan hukum di Indonesia akibat ulah para oknum penegak hukum kita selama ini.

Sejalan dengan cita-cita negara demokrasi dimana kepentingan rakyat merupakan daulat utama. Sistem hukum di Indonesia menganut suatu konsep rule of law dimana tujuannya untuk menciptakan setiap orang memiliki hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dihadapan hukum. Tidak memandang siapapun orangnya, setiap orang memiliki hak hukum yang sama (equality before the law). Namun dalam kenyataannya penegakan hukum di negara Indonesia masih menjadi polemik dimana dalam penerapannya masih bisa dikendalikan oleh para pemegang kekuasaan. Mereka yang memiliki kekuasaan atau dekat dengan kekuasaan akan memiliki pengaruh yang luar biasa dimana dapat mengendalikan hukum dengan sesuka hati. Namun bagi masyarakat bawah jika terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum maka berpotensi mendapatkan hukuman yang berat.

Keempat, melemahnya trias politika di rezim Jokowi telah diperlihatkan secara gamblang dan nyata. Kemenangan Jokowi yang diusung oleh PDIP pada periode keduanya juga menempatkan kemenangan juga bagi partai PDIP di legislatif. Kemudian kehadiran Anwar Usman yang menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi yang saat ini menjadi adik ipar Jokowi nampak telah mereduksi secara tajam alam demokrasi bangsa selama ini.

Pemisahan tiga kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam mewujudkan keseimbangan negara demokrasi telah kehilangan arahnya. Akibatnya banyak peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dijalankan pemerintahan saat ini lebih menguntungkan kaum-kaum kapitalisme dan oligarki. Prinsip kebaikan bersama (common good) sebagaimana yang tercantum dalam cita-cita negara demokrasi nyatanya telah menjadi kebaikan bagi golongan-golongan atas saja sementara sangat jauh dari kehendak rakyat dan menjadi bencana yang luar biasa bagi rakyat Indonesia.

Kelima, menjelang berakhirnya masa jabatan Jokowi saat ini ia telah menunjukan ambisi-ambisi haus kekuasaannya dengan memperlihatkan dinasti politik yang sangat tajam. Jokowi menjadi presiden pertama di Indonesia yang menempatkan anak dan menantunya menjadi seorang walikota, dan anak yang satunya menjadi ketua partai, dan adik ipar Jokowi yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Jokowi yang pernah mengatakan bahwa hingga saat ini anak-anaknya tidak pernah tertarik dengan dunia politik namun kini justru telah membangun kerajaan politik yang cukup luas.

Dan benar saja baru-baru ini kita sebagai rakyat Indonesia telah menyaksikan peristiwa upaya pembegalan demokrasi yang terjadi di rezim ini. Pertama dalam sejarah bangsa Indonesia, Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Jokowi serta paman dari Gibran Rakabuming Raka yang saat ini menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia harus diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya tersebut. Pemberhentian secara tidak hormat tersebut baru saja dibacakan dalam putusan sidang pelanggaran etik hakim konstitusi yang digelar oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada Selasa 7 November 2023.

Sidang pelanggaran etik hakim konstitusi tersebut dipimpin oleh Prof Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua Majelis dan Wahiduddin Adams serta Bintan R. Saragih selaku majelis anggota telah memberikan putusan bahwa secara terbukti Anwar Usman selaku Ketua Mahkamah Kontitusi telah melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kepantasan dan prinsip kesopanan. Dengan demikian, MKMK menjatuhkan sanksi terhadap Paman Gibran tersebut dengan dijatuhi sanksi diberhentikan secara tidak hormat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Sebelumnya, Anwar Usman yang telah menyidangkan permohonan uji materi pasal 169 huruf q undang-undang nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden pada 16 Oktober lalu. Permohonan tersebut diajukan oleh seorang anak muda bernama Almas Tsaqibbirru yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) yang mengaku sebagai pengagum Gibran. Majelis hakim konstitusi yang dipimpin oleh Anwar Usman mengabulkan permohonan tersebut, dan benar saja selang sehari setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut, Prabowo yang didampingi oleh Gibran selaku ponakan Anwar Usman secara resmi mendaftarkan diri sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pilpres 2024 mendatang.

Atas dikabulkannya permohonan uji materi tersebut alhasil mengundang gejolak penolakan dan kemarahan publik atas pembegalan demokrasi hingga tidak sedikit yang menganggap MK sebagai Mahkamah Keluarga. Alhasil puluhan laporan yang diajukan dari berbagai pihakpun tidak dapat dihindari untuk melaporkan Anwar Usman terhadap Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas dugaan konflik kepentingan dalam menangani permohonan uji materi dalam perkara nomor:90/PUU-XXO02023 tersebut.

Putusan yang ditetapkan MKMK kemarin mencopot Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk menyelamatkan alam demokrasi bangsa yang selama ini telah dibegal dan mengalami kemunduran secara drastis. Putusan MKMK memberikan jawaban secara terang benderang bahwa rezim Jokowi selama 9 tahun ini terbukti telah membawa arah sistem demokrasi bangsa semakin kehilangan arahnya.

Melalui putusan MKMK yang dikomandoi oleh Prof Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua Majelis dalam persidangan tersebut telah berhasil mencegah terjadinya pembegalan demokrasi yang semakin buruk. Meskipun secara hukum putusan MK sebelumnya dinyatakan tetap sah dan mengingat mengingat putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding) dan apa yang diputus oleh hakim harus dianggap benar meskipun mengandung kesalahan. Namun dalam hal ini setidaknya rakyat dapat menilai kebobrokan yang sangat luar biasa telah terjadi di rezim Jokowi atas upaya pembegalan demokrasi dengan membudayakan politik dinasti, kolusi dan nepotisme yang nampak secara nyata pada bangsa ini.

Menyelamatkan Demokrasi

Berbagai macam persoalan demokrasi di atas tidak boleh didiamkan saja. Indonesia harus segera berbenah menata tatanan demokrasi bangsa sebagaimana tujuan demokrasi itu sendiri ialah untuk menciptakan kedaulatan rakyat yang lebih baik. Pemilihan calon Presiden pada 2024 mendatang akan menjadi langkah awal masyarakat Indonesia dalam menaruh harapan terhadap pemimpin terpilih untuk membawa arah demokrasi kita menjadi lebih baik. Pemilu 2024 nanti harus menjadi garis perjuangan rakyat dalam menentukan kemajuan bangsa yang demokratis.

Pemimpin bangsa selanjutnya harus memegang teguh nilai-nilai dan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Rakyat Indonesia tidak boleh lagi dibatasi dengan latar belakang primordial. Karena setiap warga negara memiliki kesamaan  untuk menjadi pemilih dan berkumpul serta berserikat untuk menyampaikan pendapat. Hal tersebut sejalan dengan pasal 28 E ayat (3) UUD yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pemimpin Indonesia selanjutnya harus mampu memegang teguh prinsip-prinsip tersebut. Rakyat tidak boleh lagi dibatasi kebebasan ekpresinya untuk berpikir dan menyuarakan aspirasinya.

Keseimbangan pemisahan kekuasaan dalam trias politika dalam negara demokrasi juga tidak boleh disepelekan. Bukan hanya eksekutif, legislatif, yudikatif saja. Melainkan berbagai elemen penting lainnya yang berasal dari rakyat juga harus dilibatkan terutama dalam membuat suatu aturan kebijakan. Dengan demikian, demokrasi kita akan terfokuskan dengan bermuara pada kepentingan rakyat Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan terbesar pada sebuah sistem negara demokratis. 

Indonesia mendatang juga harus mampu terbebas dalam cengkraman politik dinasti. Dalam negara demokrasi, politik dinasti dinilai sebagai pembegalan atas demokrasi. Hal tersebut akan membuat sistem demokrasi bangsa selama ini terus mengalami kemunduran yang sangat drastis. Pemerintah Indonesia harus segera membuat aturan yang tegas mengenai larangan menjalankan dan keterlibatan politik dinasti.

Jika dibiarkan maka perjuangan untuk menjaga semangat reformasi dahulu hanya sebatas angan-angan belaka. Praktik-praktik KKN (korupsi, kolusi, dan Nepotisme) di negeri ini akan terus bermunculan. Akibatnya banyak kebijakan-kebijakan yang diambil kedepan oleh pemerintah mendatang sangat jauh dari kehendak rakyat. Mereka hanya akan fokus terhadap kebijakan golongannya saja. Hal tersebut sudah terbukti sekarang disisa jabatan Jokowi saat ini.

Tugas menyelamatkan demokrasi bukan hanya bagi penyelenggara negara yang dalam hal ini ialah pemerintah. Rakyat Indonesia juga sudah saatnya melek dan berjuang mempertahankan demokrasi ini untuk tidak kembali terperosok dalam jurang kemunduran. Demokrasi Indonesia sudah selayaknya kembali kepada rel yang sebagaimana mestinya ialah menciptakan kebebasan berpendapat, memberikan kesejahteraan rakyat, meciptakan penegakkan hukum yang adil, dan memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hidup Demokrasi.................!


~ Penulis : Teja Subakti (Ketua Trafalgar Law Office)