![]() |
Dalam konteks hukum adat, sangat dimungkinkan konsekuensi akhir dari situasi demikian, juga akan berdampak kepada keterancaman eksistensi hukum adat. Ilustrasi hukum dan keadilan. Foto freepik.com |
Ngajihukum.com - Majalah Gatra (No. 34 Tahun XV edisi 2-8 Juli 2009) pernah menulis tentang proses peradilan pidana atau pengenaan hukum positif, yang baru pertama kali terjadi terhadap masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD).
Kasusnya berawal dari terjadinya keributan antara dua kelompok mengenai urusan sewa-menyewa mesin gergaji, yang menyebabkan jatuhnya korban meninggal dari kedua belah pihak.
Kasus yang menjadi duduk perkara menurut catatan media bermula dari Kelompok Madjid atau Mata Gunung menyewa mesin pemotong kayu dari Celitai.
Harga sewa yang disepakati Rp800.000,00, sudah dibayar tetapi masih kurang Rp50.000,00. Dari sinilah awal terpicunya bentrokan antara dua kelompok tersebut, yang berujung pada kematian 4 orang.
Madjid melunasi kekurangan tersebut. Tetapi, dalam proses pelunasan inilah terjadi “salah ucap” yang membuat pihak Celitai tersinggung dan menyulut terjadinya keributan berdarah yang mengakibatkan 4 nyawa melayang.
Persoalan ini, sebenarnya sudah diselesaikan dengan hukum adat. Celitai diwajibkan membayar 1.000 helai kain dan Madjid harus menyerahkan 500 helai kain”.
Terhadap penyelesaian melalui hukum adat yang telah mereka patuhi, secara turun temurun tersebut, dinilai pihak berwajib harus pula diselesaikan secara hukum positif.
Selengkapnya Majalah Gatra menulis bahwa menurut hukum adat, seharusnya masalah ini selesai. Tetapi hukum positif negara mengatakan lain.
Keduanya diciduk polisi dan dikenai tuntutan hukum positif, yang akhirnya hanya membuat proses perdamaian antar dua kelompok yang bertikai menjadi “tidak sempurna”, karena ada salah satu pihak yang “wanprestasi” dan “melewatkan” prosesi saling memaafkan, untuk menyempurnakan penyelesaian kasus ini secara adat.
Penyelesaian perkara pidana terhadap masyarakat adat Suku Rimba, melalui proses peradilan pidana sesuai ketentuan KUHP dan KUHAP tersebut, telah menarik perhatian banyak pihak bahkan mengundang perdebatan di kalangan akademisi hukum.
Majalah Tempo Online, tanggal 23 Maret 2009 melansir ada yang berpendapat bahwa penerapan hukum pidana tersebut sudah tepat, karena hukum pidana nasional harus berdiri di atas pranata hukum lainnya termasuk hukum adat
Namun sisi lain, ada yang berpendirian terhadap masyarakat hukum adat yang telah memiliki dan mematuhi hukum, tidak tertulis secara turun temurun, tidak dapat serta merta dilakukan pengenaan hukum positif, melainkan harus membuat mereka mengetahui dan mengerti terlebih dahulu mengenai hukum positif.
Paparan mengenai kasus SAD di atas, jelas memberikan gambaran kepada kita tentang perlunya mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai hukum, seperti apakah hukum? apakah fungsi hukum dan tujuan hukum?
Jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut, selama ini sangat bervariasi. Variasi jawaban tersebut timbul, kerena perbedaan sudut pandang yang pada akhirnya telah menimbulkan sejumlah aliran dalam ilmu hukum.
Aliran-aliran tersebut pada akhirnya menempatkan penganutnya pada kutup-kutup yang berlainan. Bahkan, sebagian di antaranya ada yang cenderung bersifat antagonistis.
Cara pandang mengenai perlu tidaknya perselisihan SAD dari kelompok Celitai dan kelompok Majid yang dibawa ke ranah hukum positif di atas, jelas menjadi salah satu contoh mengenai perbedaan cara pandang mengenai hukum.
Hukum Adat dan Globalisasi
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Luasnya, menurut data dari Kementrerian Koordinanator Bidang Kemaritiman dan Investasi, sebagaiamana dikutip detiktravel, tanggal 20 Juli 2022, yakni untuk wilayah darat dan laut mencapai 8.300.000 kilometer persegi.
Meskipun dari luas tersebut, sekitar 62 persen terdiri dari laut dan perairan. Namun dengan jumlah penduduk yang nyaris menembus angka 300 juta, Indonesia tetaplah sebuah negara besar.
Hal menarik, jumlah angka penduduk yang mendiami sekitar 16.056 pulau, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia terdiri dari 1.340 suku bangsa.
Aneka suku bangsa yang ada, jika mengacu pada pendapat Cicero yaitu Ubi Societas Ibi Ius, jelas mempunyai hukumnya masing-masing.
Pertanyaan mendasarnya, lantas bagaimana kedudukan hukum positif kita di antara hukum-hukum adat yang ada? Dalam konteks negara hukum, haruskah hukum positif yang ada mengalahkan hukum-hukum adat secara beriringan?
Jawabannya memang akan selalu menjadi perdebatan hukum oleh para ahli hukum. Pro kontra seputar penanganan kasus SAD ke pengadilan negara, menjadi bukti polarisasi pendapat dimaksud.
Terlepas dari pro dan kontra yang ada, berkat kemajuan teknologi informasi dan dinamika penyebaran penduduk, suku-suku bangsa dengan berbagai adatnya, akan terkena imbasnya.
Akibat arus globalisasi yang menempatkan dunia laksana bola kecil ini, kini hampir tidak ada manusia yang dapat menutup diri dari perubahan, baik sikap dan perilaku.
Kepala suku atau para tokoh adat memang, boleh membuat proteksi sedemikian rupa. Bahkan proteksi ini secara formal juga dikumandangkan para penguasa dengan jargon-jargon, seperti menjaga tradisi dan kearifan lokal, serta pelestarian budaya.
Namun, generasi muda yang terus berinteraksi dengan dunia luar, pasti akan mengalami perubahan pola pikir (mindset).
Perubahan pola pikir sering berbeda dengan kebiasaan yang berlaku di komunitas sukunya. Suku Jawa sebagai suku mayoritas, telah mengalami hal ini.
Akibat kepadatan penduduk dengan segala risiko yang ditimbulkan, berakibat mengalami mobilitas ke berbagai pelosok tanah air, bahkan dunia, sehingga terjadi akulturasi budaya dan saat ini banyak generasi muda Jawa mengalami perubahan cara pandang terhadap tradisi luhurnya sendiri.
Dampak negatifnya, banyak anak muda yang kurang mengenal budayanya sendiri. Sedangkan positifnya orang Jawa di mana pun berada, terlihat lebih bersikap terbuka dan toleran dengan siapa pun.
Oleh karena itu, dampak kemajuan teknologi yang terus berlangsung dengan berbagai konsekuensinya, dapat menimpa suku-suku lain, betatapapun protektifnya.
Sutandyo Wignyosubroto (Guru Besar Hukum Unair) sebagaimana dikutip oleh Zuhdi Muchdhor, telah megingatkan bahwa dinamika globalisasi, adalah terjadinya perubahan pola-pola hubungan antar manusia dalam organisasi kehidupan, khususnya dalam bidang hukum dan ekonomi (bisnis) yang semula berada pada ruang lingkup lokal yang kongkret, menuju ruang lingkup regional dan nasional dan bahkan mengglobal atau semakin abstrak.
Dalam konteks hukum adat, sangat dimungkinkan konsekuensi akhir dari situasi demikian, juga akan berdampak kepada keterancaman eksistensi hukum adat.
Dari paparan di atas tentu kita ingat Roscoe Pound yang menganggap hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering and social control) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian, agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat.
Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu, diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan penguasa negara.
Sebagai sebuah negara besar dengan ribuan suku bangsa dan dinamika masyarakat akibat globalisasi dengan segenap dampaknya, sulit mempertahankan hukum adat secara rigid.
Ketika hukum positif dan hukum adat diberlakukan oleh penguasa formal, di mana berakibat terjadinya dualisme hukum. Sehingga individu, yang melakukan kesalahan akan menerima 2 hukuman sekaligus.
Kondisi semacam ini tidak mustahil, akan menyentuh hukum yang berkaitan dengan kompetensi Peradilan Agama.
Di Papua misalnya sudah terjadi, ada kasus seorang istri pada perkara cerai talak, di samping menuntut nafkah iddah mut’ah, juga menuntut pemenuhan mahar secara adat yang pernah diperjanjikan.
Para Hakim di tempat lain, sangat berpotensi mengalami hal demikian. Mengenai hal tersebut, hukum materiil Islam pasti belum menulisnya. Akan tetapi bukankah di atas hukum ada filsafat hukum dan di atas fikih ada ushul fikih.
Oleh karena itu, perdebatan berikutnya tentang bagaimana hukum adat ketika berhadapan dengan hukum Islam. Mengenai hal ini, ushul fikih jauh-jauh hari telah memberikan konsep dasar mengenai kedudukan al-‘urf dan berikut lahirnya qaidah: al-‘Adah muhakkamah.
Implementasinya bergantung penguasaan para hakim agama, terhadap hukum Islam berikut kreativitasnya (ijtihad), dengan segenap pengetahuan pendukungnya.
Penulis: H. Asmu’i Syarkowi