hukum keluarga

UU 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Mei 29, 2022
Beranda
hukum keluarga
UU 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
UU 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Demikian bunyi ketentuan Pasal 1 Undang-Undang 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki pertimbangan bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.

Pasal 1 UU Perkawinan dalam penjelasan Pasal demi Pasal dijelaskan bahwa Perkawinan sangat erat hubungannya dengan kerohanian dan agama. Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki prinsip-prinsip atau azas-azas perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Azas-azas atau prinsip-prinsip dalam UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu      saling membantu dan melengkapi, aear masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya                membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.

b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan             menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap             perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap     perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan            seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat- surat keterangan, suatu akte        resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan,        karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri            lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri,            meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila         dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya        untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara        baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

    Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih dibawah umur.

    Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah             bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju                    kelahiran     yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.

    Berhubung dengan itu, maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria     maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi                wanita.

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka     Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk                            memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan Sidang         Pengadilan.

f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan        rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam     keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.


Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan di Jakarta oleh Presiden Soeharto pada tanggal 2 Januari 1974. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan oleh Menteri/Sekretaris Negara Sudharmono. SH pada tanggal 2 Januari 1974 di Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diudnangkan dan ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 14 Oktober 2019 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mulai berlaku setelah diundangkan Plt. Menkumham Tjahjo Kumolo pada tanggal 15 Oktober 2019 di Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan karena :

1. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor     22/PUU-XV/2017 yang salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut yaitu    "Namun tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu berdampak pada atau menghalangi        pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam        kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan,        yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin, maka                 pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi." Dalam pertimbangan yang sama juga                     disebutkan Pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja     menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana     dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi                terhadap pelindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2)             UUD 1945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah dibandingkan        pria, maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga. Oleh karena hal             tersebut, dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada pembentuk undang-       undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap                 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Perubahan norma dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menjangkau     batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau dengan menaikkan batas            minimal umur perkawinan bagi wanita. Dalam hal ini batas minimal umur perkawinan bagi wanita        dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun.            Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar     dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat             keturunan yang sehat dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16     (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah         dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak             sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta                     memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin.

Hal-hal yang dapat dijadikan untuk melakukan perceraian dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
  6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perubahan tersebut adalah mengubah Pasal 7 dan menyisipkan 1 Pasal diantara Pasal 65 dan Pasal 66 yaitu Pasal 65A, seperti berikut ini:

1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7
  1. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
  2. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
  3. Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
  4. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

2. Di antara Pasal 65 dan Pasal 66 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 65A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65A
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, permohonan perkawinan yang telah didaftarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tetap dilanjutkan prosesnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Diubah

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Latar Belakang

Pertimbangan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.

Dasar Hukum

Dasar hukum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:

  1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.
Penjelasan Umum UU Perkawinan

1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang- undang Perkawinan     Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan        yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.

2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai        daerah seperti berikut :

    a.   bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresiplir           dalam Hukum Adat;

    b.   bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;

    c.    bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonnantie Christen            Indonesia (S. 1933 Nomor 74);

    d.   bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-                  ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;

    e.    bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing               lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;

    f.    bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan                      dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-undang         ini disatu fihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan             Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan dilain fihak harus dapat pula menampung segala kenyataan     yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung                 didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari         yang bersangkutan.

4. Dalam Undang-undang ini ditentukan Prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkayanan dan             segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan     dan tuntutan zaman. Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-undang ini adalah     sebagai berikut :

    a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri             perlu saling membantu dan melengkapi, aear masing-masing dapat mengembangkan                                kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.

    b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan             menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap             perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-            tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam                     kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat- surat                         keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

    c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang                                bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami            dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari            seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat                dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

   d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya         untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara         baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus         dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu,             perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur         yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih                 tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka                    Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita,ialah         19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi,wanita.

    e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera,             maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk                 memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan Sidang         Pengadilan.

    f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam                       kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala           sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.

5. Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan             dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut             hukum yang telah ada adalah sah.